Menelusuri Inti Tradisi Sains Islam

Saat ini, cukup banyak buku yang mengulas warisan peradaban Islam. Di antaranya yang cukup menarik ialah karya akademisi Universitas Paramadina, Husain Heriyanto. Sebab, buah penanya itu tidak hanya menyajikan senarai nama dan legasi tokoh-tokoh sarjana Muslim dari era keemasan peradaban Islam. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan paradigma berpikir dan tradisi keilmuan Islam pada masa puncak itu.

Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, demikian judul karyanya. Melalui itu, Husain Heriyanto menggunakan analisis-historis atas tradisi sains Islam dan sekaligus analisis-filosofis atas pandangan-dunia (worldview) Islam. Dengan apik pula, Husain menghubungkan hasil analisis-analisis tadi dengan keadaan dunia hari ini. Memang, sejak akhir abad ke-20 para cerdik cendekia dunia kian banyak yang mempertanyakan paradigma keilmuan modern.

Mengutip Haidar Bagir dalam kata pengantar karya ini, klaim metode ilmiah sebagai satu-satunya cara perolehan pengetahuan telah digugat dalam beberapa dekade belakangan. Bahkan, gagasan tentang anarkisme-metode mencuat di antara kalangan ahli filsafat dan sejarawan ilmu-pengetahuan.

Barat dirasa “terlalu lama” mendominasi metodologi sains dan ilmu. Akhirnya, cukup banyak pemikir yang memilih beralih pada kebijaksanaan Timur dalam memecahkan dilema sains modern. Misalnya, R Oppenheimer (fisikawan teoretis), Erwin Schrodinger (peraih Nobel bidang fisika tahun 1933), atau Fritjof Capra (ahli teori sistem).

Dalam karyanya ini, Husain menunjukkan betapa paradigma dan metode saintifik modern justru bersifat reduksionis. Sebab, ia hanya “melihat” dunia dari sudut deduksi rasional dan induksi empiris. Padahal, ada aspek-aspek lainnya yang patut menjadi perhatian, semisal intuisi. Berbeda dengan Barat, sains dan filsafat Islam mengindahkan dan bahkan menganggap penting intuisi, terutama yang dibimbing wahyu Ilahi.

Isi buku

Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam terdiri atas tiga bagian. Diawali dengan penjelasan mengenai khazanah Islam dan filsafat Islam. Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perhatian penulis dalam bagian ini adalah, “mengapa khazanah keilmuan Islam era klasik penting direvitalisasi?” dan “bagaimana peran filsafat dan pemikiran dalam peradaban Islam?”

Untuk menjawab persoalan pertama, Husain mengibaratkan kondisi umat Islam masa kini sebagai “kafilah tersesat.” Kafilah itu tidak mengenal medan gurun pasir—pengibaratan dunia dan segala tantangan zaman di dalamnya saat ini. Karena tak mampu menggunakan petunjuk kompas di tangan—legasi dari masa lalu—maka kafilah tersebut menuruti apa saja yang disampaikan penjelajah lain, yang sesungguhnya juga tak mengenal medan secara baik.

Padahal, kompas itulah yang sejatinya menuntun kita agar tidak tersesat. Masalahnya, sang pengelana, yakni umat Islam zaman sekarang, tak rajin membaca dan menelaah kompas itu. Mereka “buta” terhadap khazanah keilmuan Islam dari masa lampau, yang sebenarnya telah membuka jalan bagi kebangkitan peradaban Barat.

“Walhasil, dunia hari ini seakan memaksa kita untuk menuruti berbagai skenario dan paham yang datang dari Barat. Agaknya suara Iqbal (Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Muslim abad ke-20 –Red) yang menghendaki kita untuk berkemandirian dalam berpikir dan bersikap masih jauh dari harapan,” tutur sang Husain (hlm 11).

Setiap kebudayan memiliki inti (core) berupa ideofak alias sistem gagasan. Bagi umat Islam, sudah sepatutnya worldview Islam dan kesadaran budaya Islam-lah yang menjadi ideofak. Berangkat dari kesadaran demikian, kaum Muslimin dapat menghasilkan tatanan sosial dan produk-produk material yang sejati.

Dalam arti, tidak sekadar mengekor kebudayaan pihak-pihak lain, yang belum tentu juga sesuai dengan ajaran agama ini. Untuk itu, filsafat dan pemikiran yang dicetuskan para sarjana Muslim era klasik amat relevan untuk menjadi penuntun bagi kita menemukan ideofak ideal hari ini.

Bagian kedua dan ketiga merupakan inti buku tersebut. Bagian kedua berisi uraian sang penulis tentang ciri-ciri pokok peradaban Islam. Ia merujuk pada karya-karya sejumlah intelektual, semisal Thabathaba’i, CA Qadir, Ismail al-Faruqi, Seyyed Hosein Nasr, dan Nurcholis Madjid. Beragam perspektif mereka hadirkan. Bagaimanapun, semuanya bermuara pada argumentasi yang sama, yakni “peradaban Islam merupakan ladang subur tumbuhnya aktivitas-aktivitas ilmiah.”

Berbeda dengan peradaban sekuler (Barat), Islam justru mengambil inspirasi utama dari tauhid, keyakinan pada Allah SWT. Mengutip pendapat Thabathaba’i, Qadir, dan Nasr, wahyu dan hadis Nabi SAW berpengaruh besar dalam membangkitkan gerakan-gerakan intelektual dan tradisi keilmuan Islam, utamanya pada era keemasan.

Berdasarkan hasil kajian para peneliti terdahulu, termasuk kalangan orientalis, Husain menegaskan, peradaban Islam membawa kebaruan bagi dunia. Sebab, Islam-lah yang pertama kali mengangkat ilmu pengetahuan menjadi suatu isu kemanusiaan global.

Sains dan ilmu pengetahuan sejak peradaban Islam tak lagi sekadar urusan yang dibatasi sekat-sekat ras dan kebangsaan. Ia menjadi milik semua orang pada semua zaman.

Banyak pula bukti tentang kontribusi Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada masa keemasan, Islam merintis rumah sakit, perpustakaan, observatorium, dan berbagai fasilitas penelitian demi menunjang eksplorasi lebih jauh lagi. Bahkan, peradaban modern—Barat—berutang banyak kepada Islam dalam hal ini.

Pada bagian ketiga buku tersebut, sang penulis menyajikan contoh beberapa tokoh ilmuwan yang membangun tradisi ilmiah dalam peradaban Islam. Mereka telah mengukir capaian-capaian ilmiah yang signifikan untuk kemajuan peradaban manusia pada umumnya. Husain mengklasifikasi nama-nama yang dipilihnya dalam berbagai bidang disiplin keilmuan, seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran.

Di antara sosok-sosok dalam senarai ini adalah Ali bin Abi Thalib (“ilmuwan pelopor etos ilmiah”), Al-Khawarizmi (“bapak aljabar”), Umar Khayyam (“penyair yang merintis geometri analitis”), serta al-Battani (“astronom penemu 24 jam per hari”). Pengarang juga menjelaskan tentang sumbangsih Ibnu al-Haitsam dalam ilmu optik; al-Biruni selaku peletak dasar metode ilmiah; serta al-Khazini yang telah menemukan teori gravitasi jauh berabad-abad sebelum Isaac Newton. Di bidang ilmu medis, ada nama-nama besar, semisal al-Razi, Ibnu Sina, Abu al-Qasim al-Zahrawi, serta Ibnu Nafis.

Tidak sekadar menjelaskan data biografis dan prestasi-prestasi mereka, buku ini juga mengulas bagaimana tradisi keilmuan yang mereka rintis dan kembangkan. Husain menggunakan gaya tutur yang bernas sehingga penjelasan yang ada mudah dicerna oleh pembaca awam sekalipun. [republika]

DATA BUKU

Judul: Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam
Penulis: Husain Heriyanto
Penerbit: Mizan
Tebal: xxxix + 392 halaman

Related posts

Leave a Comment